Sabtu, 26 Januari 2013

Agama yang Hak


Agama Yang Diridhai Di sisi Allah Hanyalah Islam

Oleh: Tengku Azhar
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآَيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“sesungguhnya agama disis Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang diberi Al-Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS. Ali Imran: 19)
Tafsir Ayat
Imam Ath-Thabari –rahimahullah- menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Ad-Dien (agama) adalah ketaatan dan ketundukan. Adapun definisi Islam adalah patuh, tunduk dan pasrah.”
Seperti perkataan seorang penyair
وَيَوْمُ الحَزْنِ إِذْ حُشِدَتْ مَعَدٌّ… وَكَانَ النَّاسُ، إِلا نَحْنُ دِينَا
“Dan di hari duka, ketika kedua kaki kuda dikumpulkan , sementara semua manusia hina kecuali kami.”
Jadi, makna kata دِينَا  dalam bait tersebut adalah taat dengan penuh ketundukan. Begitu juga makna lafazh الإسْلامُ  adalah ketaatan dan ketundukan, kata kerjanya adalah اَسْلَمَ  yang artinya menyerahkan diri, sama bentuknya dengan ungkapan اقحط القوم  yang artinya kaum itu masuk ke masa paceklik, dan ungkapan اسلموا  yang artinya mereka masuk kedalam perdamaian, yakni dengan ketundukan dan tidak mengadakan perlawanan.
Jika demikian makna kata tersebut, maka tafsir ayat  إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلام adalah “sesungguhnya ketaatan yang diterima di sisi Allah adalah ketaatan kepada-Nya, serta ikrar lisan dan hati dengan ibadah  hanya kepada-Nya, dengan penuh ketundukan dalam bentuk menunaikan perintah dan menjauhi larangan, tanpa ada pengingkaran dan penyimpangan, juga tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain dalam ibadah”.
Riwayat-riwayat yang menjelaskan penafsiran tersebut adalah:
1. Bisyr menceritakan kepada kami, ia berkata: Yazid menceritakan kepada kami, ia berkata: Sa’id menceritakan kepada kami dari Qatadah, tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلام
Ia berkata,  “Islam adalah persaksian tidak adanya tuhan yang berhak diibadahi selain Allah, ikrar terhadap segala hal yang datang dari Allah, yakni Agama Allah, yang dengannya Allah mengutus rasul-Nya. Itulah yang ditunjukkan kepada para kekasih-Nya, sementara yng lain tidak akan diterima oleh-Nya.”
2. Al-Mutsanna menceritakan kepadaku, ia berkata: Ishaq menceritakan kepada kami, ia berkata: Ibnu Abi Ja’far menceritakan kepada kami dari bapaknya, dari Ar-Rabi’, ia berkata: Abu Al-Aliyah menceritakan kepada kami tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلام
Ia berkata, “Al-Islam maknanya adalah Ikhlas hanya kepada Allah, dan beribadah hanya kepada-Nya tanpa menyekutukan-Nya, serta mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan segenap kewajiban lainnya.”
Yunus menceritakan kepadaku, ia berkata: Ibnu Wahb mengabarkan kepada kami, ia berkata: Ibnu Zaid berkata, tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,أسلمنا “kami telah tunduk,” ia berkata,maknanya adalah kami melakukan perdamaian dan meninggalkan peperangan.”
Ibnu Humaid menceritkan kepada kami, ia bekata: Salamah menceritakan kepada kami dari Ibnu Ishaq, dari Muhammad bin Ja’far bin Zubair, tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلام
Ia berkata, “Maknanya adalah tauhid yang engkau pegang wahai Muhammad, dan sikap membenarkan para rasul.”
Paramufasir berbeda pendapat, perbedaan pendapat ini dilandaskan kepada dua model qira’ah, dengan mengkasrahkan (إِنَّ) atau memfathahkannya  sehingga dibaca (أَنَّ). Mayoritas mufasir mengkasrahkannya, yang berarti terlepas dari kontek sebelumnya. Sementara hanya Al-Kasa’y saja yang membacanya dengan fathah.
Tafsir Ad-Dien (Agama)
Kataالدِّينَ  mempunyai banyak arti,antara lain:
Ketundukan, ketaatan, perhitungan, balasan, juga berarti agama, karena dengan agama seseorang bersikap tunduk dan taat serta akan diperhitungkan seluruh amalnya, yang atas dasar itu ia memperoleh balasan dan ganjaran.
Kadang-kadang الدِّينَ  disebut juga dengan kata lain yaitu millah, yang berarti agama. Dengan memakai kata millah atau millat, maka cakupan الدِّينَ  itu menjadi meluas lagi, mencakup sekalian peraturan hidup, bukan saja ibadah, bahkan juga mengatur negara.
Agama atau ketaatan kepada-Nya, ditandai oleh penyerahan diri secara mutlak kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Islam dalam arti penyerahan diri adalah hakikat yang ditetapkan Allah dan diajarkan oleh para nabi sejak Nabi Adam ‘Alaihissalam hingga Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Syariat Nabi-nabi bisa berubah karena perubahan zaman dan tempat, namun hakikat agama yang mereka bawa hanya satu yaitu Islam, sebab maksud agama adalah dua perkara:
1. Membersihkan jiwa dan akal dari kepercayaan akan kekuatan ghaib, yang mengatur alam ini, yaitu percaya hanya kepada Allah dan berbakti, memuja dan beribadah kepada-Nya.
2. Membersihkan hati dan membersihkan tujuan dalam segala gerak-gerik dan usaha, niat ikhlas kepada Allah. Itulah yang dimaksud dengan kata-kata Islam.
Ayat ini menurut Ibnu Katsir, mengandung pesan dari Allah bahwa tiada agama disisi-Nya dari seorang pun kecuali Islam, yaitu mengikuti para Rasul yang diutus-Nya setiap saat hingga berakhir  dengan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dengan kehadiran beliau, telah tertutup semua jalan menuju Allah kecuali jalan dari arah beliau sehingga siapa yang menemui Allah setelah diutusnya Muhammad. Dengan menganut satu agama selain syariat yang beliau sampaikan, tidak diterima oleh-Nya, sebagaimana firmannya:
“Barang siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk oran-orang yang rugi”. (QS. Ali’Imran: 85)
Jika demikian, Islam adalah agama para Nabi. Istilah muslimin digunakan juga untuk umat-umat para Nabi terdahulu, karena itu (tulis Asy-Sya’rawi) Islam tidak terbatas hanya pada risalah Nabi Muhammad saja. Tetapi, Islam adalah ketundukan makhluk kepada Rabb Yang Maha Esa dalam ajaran yang dibawa oleh para rasul, yang didukung oleh mukjizat dan bukti-bukti yang meyakinkan. Hanya saja-(lanjut Asy-sya’rawi)-kata Islam untuk ajaran para Nabi yang lalu merupakan sifat, sedang umat Nabi Muhammad memiliki keistimewaan dari sisi kesinambungan sifat itu bagi umat Muhammad, sekaligus menjadi tanda dan nama baginya. Ini karena Allah tidak lagi menurunkan agama sesudah datangnya Nabi Muhammad. Selanjutnya, ulama Mesir kenamaan itu mengemukakan bahwa ini telah ditetapkan jauh sebelum kehadiran Nabi Muhammad firman Allah yang disampaikan oleh Nabi Ibrahim dan diabadikan, Al-Qur`an menyatakan:
هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا….
“Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (al-qur’an ) ini….”(QS. Al-Hajj: 7-8).
Di sisi lain diamati bahwa dalam Al-Qur`an tidak ditemukan kata Islam sebagai nama agama kecuali setelah agama ini sempurna dengan kedatangan Nabi Muhammad. Dari semua penjalasan di atas, tidak keliru jika kata Islam pada ayat ini dipahami sebagai ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad karena, baik dari tinjauan agama maupun sosiologis, itulah nama ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad dan secara akidah Islamiyah, siapa pun yang mendengar ayat itu dituntut untuk menganut ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad walaupun di sisi Allah semua agama yang dibawa oleh para Rasul adalah Islam sehingga siapa pun,sejak -Adam hingga akhir zaman- yang tidak menganut agama sesuai yang diajarkan oleh Rasul yang diutus kepada mereka, Allah tidak menerimanya.
Allah telah mengutus para Rasul membawa ajaran Islam, tetapi ternyata banyak yang tidak menganutnya. Banyak yang berselisih tentang agama dan ajaran yang benar, bahkan yang berselisih adalah pengikut para Nabi yang diutus Allah membawa ajaran itu. Sebenarnya para Nabi dan Rasul yang diutus itu tidak keliru atau  salah, tidak juga lalai menjelaskan agama itu kepada para pengikut mereka karena tidak berselisih orang-orang yang telah diberi Al-kitab pada suatu kondisi ataupun waktu kecuali sesudah  datang pengetahuan  kepada mereka.
Menurut Ibnu Abbas, orang-orang musyrik membangga-banggakan bapak-bapak mereka, dan setiap kelompok menyatakan, “Tidak ada agama melainkan agama bapak-bapak kami dan apa yang ada pada diri mereka”. Lalu Allah mendustakan mereka dengan berfirman, “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” Yaitu agama yang dibawa Muhammad, agama para Nabi,semenjak yang pertama hingga yang terakhir diantara mereka, dan bagi Allah tidak ada agama selain Islam ini,  Allah berfirman:
“Dan barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS.Ali Imran: 85)
Hakikat Dinul Islam
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah- berkata dalam kitab An-Nubuwwat, hal. 127:
“Islamadalah istislaam (berserah diri) kepada Allah saja tidak kepada yang lainnya, dia beribadah hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dia tawakkal hanya kepada-Nya saja, dia hanya takut dan mengharap kepada-Nya, dan dia mencintai Allah dengan kecintaan yang sempurna, dia tidak mencintai makhluk seperti kecintaan dia kepada Allah. Siapa yang enggan beribadah kepada-Nya maka dia bukan muslim dan siapa yang disamping beribadah kepada Allah dia beribadah pula kepada yang lain maka dia bukan orang muslim”.
Beliau juga menjelaskan bahwa orang yang sama sekali tidak mau beribadah kepada Allah maka dia itu bukan orang Islam, ini sesuai dengan apa yang sudah pasti dalam aqidah Ahluusunnah bahwa orang yang hanya mengucapkan dua kalimah syahadat sedangkan dia itu tidak pernah beramal sama sekali selama hidupnya padahal keadaan memungkinkan untuk itu maka itu bukanlah orang Islam.
Beliau juga menyatakan bahwa orang yang beribadah kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala, akan tetapi di samping itu dia juga memalingkan satu macam ibadah kepada selain Allah maka dia itu bukan orang Islam. Beliau berkata juga sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Imam Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdil Wahhab –rahimahullah- dalam kitabnya Al Qaul Al Fashl An Nafiis Fir Raddi ‘Alal Muftarii Dawud Ibni Jirjiis hal. 160:
“Dalam Islam itu haruslah adanya istislaam (berserah diri penuh) kepada Allah saja dan meninggalkan Istislaam kepada selain-Nya, inilah makna hakikat ucapan kita Laailaaha Illallaah. Siapa orangnya yang istislaam kepada Allah dan kepada yang lainnya, maka dia itu adalah orang musyrik, sedangkan Allah tidak mengampuni penyekutuan terhadap-Nya. Dan siapa yang tidak istislaam kepada Allah maka dia itu adalah orang yang mustakbir (menyombongkan diri) dari ibadah kepada-Nya, sedangkan Allah telah berfirman,
“Sesungguhnya orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina.” (QS. Al Mukmin: 60)
Contohnya orang yang mengaku Islam, dia mengerjakan shalat zakat, shaum, haji, dan yang lainnya, akan tetapi dia membuat tumbal atau meminta kepada yang sudah mati, maka orang seperti ini bukanlah orang Islam, karena dia di samping istislaam kepada Allah dia juga istislaam kepada selainNya, Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman:
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagiNya dan demikian itulah  yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah urang yang pertama-tama menyerahkan diri kepada Allah”.  (QS. Al An’am: 162-163)
Wallahu A’lamu bish Shawab.

Jumat, 18 Januari 2013

Asal mula suku baduy

Baduy atau orang Kanekes adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo.


Wilayah kanekes bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Tidak heran bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa sunda dialek Sunda-Banten. Namun mereka juga lancar menggunakan Bahasa Indonesia ketika berdialog dengan penduduk luar.

Mata pencaharian masyarakat Baduy adalah bertani dan menjual buah-buahan yang mereka dapatkan dari hutan. Selain itu Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba yang masih rutin diadakan setahun sekali dengan mengantarkan hasil bumi kepada penguasa setempat yaitu Gubernur Banten. Dari hal tersebut terciptanya interaksi yang erat antara masyarakat Baduy dan penduduk luar. Ketika pekerjaan mereka diladang tidak mencukupi, orang Baduy biasanya berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan berjalan kaki, umumnya mereka berangkat dengan jumlah yang kecil antara 3 sampai 5 orang untuk mejual madu dan kerajinan tangan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Perdagangan yang semula hanya dilakukan dengan barter kini sudah menggunakan mata uang rupiah. Orang baduy menjual hasil pertaniannya dan buah-buahan melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.

Kelompok-kelompok dalam masyarakat Kanekes

Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam, yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik). Ciri khas Orang Baduy Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Kelompok masyarakat panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Baduy Luar, yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Apabila Baduy Dalam dan Baduy Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Baduy Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar (Permana, 2001).

Baduy Luar

Baduy Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Baduy Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkanya warga Baduy Dalam ke Baduy Luar. Pada dasarnya, peraturan yang ada di baduy luar dan baduy dalam itu hampir sama, tetapi baduy luar lebih mengenal teknologi dibanding baduy dalam.


Penyebab warga Baduy masuk menjadi golongan Baduy Luar, adalah:
  • Mereka telah melanggar adat masyarakat Baduy Dalam.
  • Berkeinginan untuk keluar dari Baduy Dalam
  • Menikah dengan anggota Baduy Luar
Ciri-ciri masyarakat:
  • Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya tetap merupakan larangan untuk setiap warga Baduy, termasuk warga Baduy Luar. Mereka menggunakan peralatan tersebut dengan cara sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan pengawas dari Baduy Dalam.
  • Proses Pembangunan Rumah penduduk Baduy Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Baduy Dalam.
  • Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
  • Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca & plastik.
  • Mereka tinggal di luar wilayah Baduy Dalam.
Baduy Dalam

Baduy Dalam adalah bagian dari keseluruhan Suku Baduy. Tidak seperti Baduy Luar, warga Baduy Dalam masih memegang teguh adat istiadat nenek moyang mereka.


Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Baduy Dalam antara lain:
  • Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
  • Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
  • Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Puun)
  • Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)
  • Menggunakan Kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.


Sumber:
Iskandar, J. (1991). An evaluation of the shifting cultivation systems of the Baduy society in West Java using system modelling, Thesis Abstract of AGS Students


Translate language to englis


Bedouin or Kanekes is a group of indigenous people in the Sunda Lebak, Banten. The term "Bedouin" is the designation given by residents outside the community groups, the term originated from the Dutch researchers who seem to equate them with Badawi Arab groups who are sedentary societies (nomadic). Another possibility is that the River and Mountain Bedouin Bedouin in the northern part of the region. They themselves prefer to call themselves as urang Kanekes or "Kanekes" corresponds to the name of their territory, or a term that refers to the name of their village as Urang Cibeo.

Kanekes region settled right at the foot of the mountains Kendeng Kanekes village, District Leuwidamar,-Rangkasbitung Lebak, Banten, is about 40 km from the city Rangkasbitung. Not surprisingly, the language they use is Sundanese language Sundanese dialect-Banten. But they are also fluent in the Indonesian language when talking to people outside.

Baduy livelihood is farming and selling fruit they get from the forest. Additionally As a sign of compliance / confession to authorities, people routinely carry Kanekes Seba are still regularly held once a year to deliver the produce to the local authorities that the Governor of Banten. It is the creation of close interaction between the Bedouin and the outside. When their work in the fields is insufficient, Bedouin usually ventured into the big city around their area on foot, they generally go with a small amount of 3 to 5 people to mejual honey and crafts them to make ends meet. Trade that originally only done by barter widespread use rupiah. Baduy people sell their agricultural products and fruits through the middlemen. They also buy the necessities of life are not produced itself in the market. The market for Kanekes located outside the region such as market Kanekes Kroya, Cibengkung, and Ciboleger.

Groups in society Kanekes

Kanekes Community are generally divided into three groups: Tangtu, panamping, and dangka (Permana, 2001). Tangtu group is a group known as the Bedouin, the most strictly follow the customs, the people living in the three villages: Cibeo, Cikartawana, and Cikeusik). The hallmark of the Bedouin is naturally white clothes and dark blue and wearing a white headband. Panamping communities are those that are known as the Outer Baduy, who lived in various villages scattered around the area of ​​the Bedouin, as Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, and so forth. Foreign Baduy distinctively dressed and black headband. If Baduy Domestic and Foreign Bedouin living in the Kanekes, the "Bedouin Dangka" Kanekes live outside the area, and currently resides in the remaining two villages, namely Padawaras (Cibengkung) and Sirahdayeuh (Cihandam). Dangka village serves as a sort of buffer zone on outside influences (Permana, 2001).

Outer Baduy

Foreign Bedouin are the people who have been out of the Bedouin peoples and regions. There are several things that cause dikeluarkanya Bedouin residents in the Outer Baduy. Basically, the rules are outside and Baduy Baduy in almost the same, but the outer Baduy know more about technology than the Baduy.

Causes of Bedouin residents entered into Outer Baduy group, are:
They have violated the indigenous Bedouins.
Wanting to get out of the Bedouin in
Married with members of the Bedouin Foreign
The characteristics of the community:
They have to know the technology, such as electronic equipment, although its use remains a ban for every citizen Bedouin, including Foreign Bedouin citizens. They use the equipment in a way secretly to escape detection for the trustees of the Bedouin.
Housing Construction Process Foreign Bedouin residents have used these tools, such as saws, hammers, nails, etc., that were previously banned by the indigenous Bedouin.
Using traditional clothes with black or dark blue (for men), which indicates that they are not holy. Sometimes using modern clothes such as T-shirts and jeans.
Using modern household appliances, such as mattresses, pillows, plates & cups glass & plastic.
They live outside the Baduy In.
Baduy In

In the Bedouin are a part of the whole Bedouin tribe. Unlike Foreign Bedouin, Bedouin residents still adhere to the traditions of their ancestors.

Most of the rules adopted by the Bedouin tribes, among others:
Not allowed to use vehicles for transportation
Not allowed to use footwear
The door should face north / south (except home the Puun)
Prohibition of use of electronic tools (technology)
Using cloth black / white as the clothes are woven and sewn himself, and is not allowed to use modern clothing.

Sources:
Iskandar, J. (1991). An evaluation of the shifting cultivation systems of the Bedouin society in West Java using the system modeling, Thesis Abstract of AGS Students

Cara mudah belajar Matematika untuk anak SD

Sebenarnya saya akan memberikan tips cara mempelajari matematika untuk anak SD, karena kebanyakan anak SD tidak bisa mempelajari matematika, bagaimanakah tips agar dengan mudah mempelajari matematika?inilah tips nya:


1. menguasai perjumlahan bilangan bulat
sangat banyak anak SD yang tidak bisa menguasai perjumlahan bilangan bulat, contohnya -5-4= -9,
-5-(-4)=-1
2. menguasai rumus suatu soal
misalnya rumus persegi Sxs
3. menguasai apa yang dimaksud soal
misalnya tentukan luas persegi dengan panjang 5 cm, pasti caranya adalah 5x5= 25cm(kuadrat)
4. selalu teliti dalam mengerjakan soal
banyak orang yang mengerti caranya, tetapi tidak teliti akan suatu soal, misalnya luas persegi adalah SxS tetapi karena tergesa-gesa jadi ngaco rumusnya
5. perbanyaklah latihan
setelah menguasai semuanya, perbanyaklah latihan agar kamu terbiasa akan soal tersebut

oh iya, jika anda sudah menguasai semua nya, janganlah sombong karena sombong membuat km menjadi ceroboh karena terlalu meremehkan soal, jika anda sedang ulangan, selalu periksa jawaban anda karena takutnya ada yang salah.

mohon maaf jika ada kesalahan karena saya masih pemula, komentarlah jika ada kesalahan agar saya mampu memperbaiki kesalahan dalam artikel yang selanjutnya

Cara mudah belajar Matematika

Bagaimana cara belajar matematika yang benar?”
“Belajar matematika adalah belajar hidup. Matematika adalah jalan hidup.”

Trachtenberg mempertaruhkan jiwanya menentang Hitler. Trachtenberg, setelah menyelami prinsip-prinsip matematika, menyimpulkan bahwa prinsip kehidupan adalah keharmonisan. Peperangan yang terus berkobar, menyulut kebencian tidak sesuai dengan prinsip-prinsip matematika. Matematika adalah keindahan.

Atas penentangannya ini, Hitler menghadiahi Trachtenberg hukuman penjara. Bagi Trachtenberg, perjara bukan apa-apa. Di dalam penjara, dia justru memiliki kesempatan memikirkan matematika tanpa banyak gangguan. Karena sulit mendapatkan alat tulis-menulis, Trachtenberg mengembangkan pendekatan matematika yang berbasis mental-imajinasi.

Seribu tahun sebelum itu, AlKhawaritzmi mengembangkan disiplin matematika baru: aljabar. AlKharitzmi beruntung hidup dalam lingkungan agama Islam yang kuat. Ajaran Islam, secara inheren, menuntut keterampilan matematika tingkat tinggi. Misalnya, Islam menetapkan aturan pembagian waris yang detil. Pembagian waris sistem Islam melibatkan banyak variabel matematis. Variabel-variabel yang beragam ini menantang penganut Islam – termasuk AlKhawaritzmi – untuk mencari pemecahan yang elegan.





Pemecahan terhadap sistem persamaan yang melibatkan banyak variabel ini membawa ke arah disiplin baru matematika: aljabar. AlKhawaritzmi menulis buku khusus tentang aljabar yang sangat fenomenal. Buku yang berjudul Aljabar ini menjadi panutan bagi matematikawan seluruh dunia. Sehingga nama AlKhawaritzmi menjadi dikenal sebagai Aljabar AlKhawaritzmi (Algebra Algorithm).


Sistem kalender Islam yang berbasis pada komariah (bulan, lunar) memberikan tantangan tersendiri. Penetapan awal bulan menjadi krusial di dalam Islam. Berbeda dengan kalender syamsiah (matahari, solar). Dalam kalender syamsiah, kita tidak begitu sensitif apa berbedaan tanggal 1 Juni dengan 2 Juni. Tetapi pada sistem komariah, perbedaan 1 Ramadhan denga 2 Ramadhan berdampak besar.


Itulah sebabnya, astronomi Islam dapat maju lebih awal. Astronomi memicu lebih berkembangnya teori trigonometri. Aturan sinus, cosinus, dan kawan-kawan berkembang pesat di tangan para astronom Islam waktu itu.


Ajaran agama Islam adalah jalan hidup. Untuk bisa melaksanakan ajaran Islam diperlukan matematika. Matematika menjadi jalan hidup.


Sehebat itukah peran matematika?
Haruskah kita mengambil matematika sebagai jalan hidup?


Tidak selalu! Tidak semua orang perlu mengambil matematika sebagai jalan hidup. Tidak harus semua orang meniru AlKhawaritzmi dan Trachtenberg.


Beberapa orang belajar matematika hanya untuk kesenangan. Beberapa orang yang lain belajar karena kewajiban. Ada pula yang belajar matematika agar naik jabatan. Ada juga agar lulus UN, SPMB, UMPTN. Ada juga untuk menjadi juara.


Masing-masing tujuan, berimplikasi kepada cara belajar matematika yang berbeda. Misalnya bila Anda belajar matematika untuk kepentingan lulus UN, SPMB, UMPTN 2008 akan berbeda dengan belajar untuk memenangkan olimpiade matematika.


Matematika UN, SPMB, UMPTN 2008 hanya menerapkan soal pilihan ganda. Implikasinya Anda hanya dinilai dari jawaban akhir Anda. Proses Anda menemukan jawaban itu tidak penting. Jadi Anda harus memilih siasat yang cepat dan tepat.


Gunakan berbagai macam rumus cepat dalam matematika. Rumus cepat ampuh Anda gunakan untuk UN, SPMB, UMPTN. Tetapi rumus cepat matematika tidak akan berguna untuk olimpiade atau kuliah kalkulus kelak di perguruan tinggi. Anda harus sadar itu.


Contoh rumus cepat matematika yang sering (hampir selalu) berguna ketika UN, SPMB, UMPTN adalah rumus tentang deret aritmetika.


Contoh soal:
Jumlah n suku pertama dari suatu deret adalah Sn = 3n^2 + n. Maka suku ke-11 dari deret tersebut adalah…


Tentu ada banyak cara untuk menyelesaikan soal ini.


Cara pertama, tentukan dulu rumus Un kemudian hitung U11. Cara ini cukup panjang. Tetapi bagus Anda coba untuk meningkatkan keterampilan dan pemahaman konsep deret. Rumus Un dapat kita peroleh dari selisih Sn – S(n-1) .


Cara kedua, sedikit lebih cerdik dari cara pertama. Kita tidak perlu menentukan rumus Un. Karena kita memang tidak ditanya rumus tersebut. Kita langsung menghitung U11 dengan cara menghitung selisih
S11 – S10 = U11
[3(11^2) + 11] – [3(10^2) + 10]
= 3.121 – 3.100 + 11 – 10
= 3.21 + 1
= 64


Cara ketiga, adalah rumus matematika paling cepat dari kedua rumus di atas. Tetapi sebelum menerapkan cara ketiga, kita harus memahami konsepnya terlebih dahulu dengan baik.


Are you ready?
Bentuk baku dari n suku pertama deret aritmetika adalah
Sn = (b/2)n^2 + k.n
Un = b(n-1) + a
a = S1 = U1


Anda harus pahami konsep di atas dengan baik. Cobalah untuk beberapa soal yang berbeda-beda. Tanpa pemahaman konsep yang baik, rumus cepat ini akan berubah menjadi rumus berat.


Dengan hanya melihat soal (tanpa menghitung di kertas) bahwa
Sn = 3n^2 + n


Kita peroleh
b = 6 (dari 3 x 2)
a = 4 (dari S1 = 3 + 1)


U11 = 6.10 + 4 = 64 (Selesai)


Semua perhitungan di atas dapat kita lakukan tanpa menggunakan alat tulis. Semua kita lakukan hanya dalam imajinasi kita. Ulangi beberapa kali. Anda pasti akan menguasainya dengan baik.


Trik untuk menguasai rumus cepat matematika adalah kuasai pula rumus standarnya – rumus biasanya. Dengan menguasai dua cara ini Anda akan semakin terampil menggunakan rumus cepat matematika.

Jangan lupa bergabung dengan facebook kami untuk berita, blog dan tips pendidikan terkini

Sempatkanlah belajar diwaktu muda agar di masa tua mu tenang


Penulis pernah mengunjungi sebuah toko buku Islam. Di samping buku-buku terjemah, ada pula kitab-kitab berbahasa Arab. Saat itu, seorang teman yang berusia 35-an tahun terlihat membeli kitab berbahasa Arab. Penulis sempat tertegun sekaligus bersyukur, “Alhamdulillah, ada kemajuan.” Tapi setelah melihat kedatangan penulis, ia berkata, “Ini untuk persiapan anak saya, mudah-mudahan anak saya bisa berbahasa Arab, meskipun ayahnya tidak bisa!”
Rasa takjub pun berubah menjadi kecewa. Bukan soal harapannya terhadap si anak, yang ini jelas baik. Akan tetapi, seakan ia telah memvonis diri tidak bisa berbahasa Arab. Mungkin mengingat usianya yang sudah kepala tiga. Padahal jika mau, ia masih memiliki banyak waktu untuk belajar.
Ternyata, mental seperti ini banyak menghinggapi kalangan dewasa dan orang tua, termasuk para aktivis. Tidak jarang penulis mencoba membuka semacam pelatihan Bahasa Arab, mayoritas yang menyambut hanya dari kalangan remaja. Sedikit sekali di antara peserta yang sudah ‘berumur’. Bahkan sering terlontar kalimat, “Silakan yang muda-muda ikut, mumpung masih mudah untuk menghafal dan belajar, kalau seusia kami ini sudah terlanjur sulit.” Bisakah alasan ini diterima?
Belajar di Waktu Kecil
Ada pepatah yang sangat tenar,
“Belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu, belajar di usia dewasa bagai melukis di atas air.”
Itulah gambaran mudahnya belajar di waktu kecil, dan bahwa belajar di usia kanak-kanak itu lebih membekas, lebih awet hafalannya. Sebaliknya, belajar di usia dewasa, begitu cepat lupanya, seperti melukis di atas air.
Sumber nasihat tersebut ada yang mengalamatkan kepada Hasan al-Bashri, ada pula yang mengatakan dari Abu Darda’, bahkan menurut al-Mawardi, nasihat itu bersumber dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sebagaimana yang beliau sebutkan dalam kitabnyaAdabud Dunya wa ad-Din. Akan tetapi, tentang keshahihannya perlu diteliti.
Yang jelas, itu merupakan nasihat yang luhur, asal dipakai di tempat yang benar dan ditujukan kepada sasaran yang tepat. Nasihat itu ditujukan untuk anak-anak dan remaja, agar memanfaatkan kesempatan emasnya untuk belajar. Agar tidak menyesal di hari tuanya. Seperti yang dikatakan orang bijak, “Jika engkau tidak turut menebar benah, niscaya engkau akan menyesal saat melihat mereka menuai benih yang telah mereka tanam.”
Kalimat itu bukan untuk membunuh potensi mereka yang sudah terlanjur dewasa atau tua. Bukan untuk memupus harapan dan cita-cita yang baru dipancang saat usia telah terlanjur senja. Maka jangan sampai salah memilih senjata, jangan pula salah menggunakannya.
Peluang Masih Sangat Terbuka
Sebenarnya, nasihat agar beljar di waktu kecil tersebut tidaklah menghapus keutamaan memulai belajar di usia tua. Yang dicela adalah, ketika seseorang yang melewatkan usia kanak-kanaknya tanpa belajar, begitupun di waktu tuanya. Al-Mawardi menjelaskan maskud ungkapan tersebut, “Yang menyebabkan kelemahan adalah, tatkala seseorang melewatkan masa kecilnya tanpa belajar, lalu di saat dewasa beralasan sibuk, atau malu untuk memulai belajar yang semestinya sudah ia mulai sejak kecil.”
Maknanya, jika ia menyempatkan diri untuk belajar, dan tidak malu belajar meskipun harus memulai dari nol, maka kesuksesan berada di hadapannya. Dengan mudah ilmu akan diserapnya.
Meskipun usia anak lebih kuat bekasnya, lebih awet hafalannya, tapi usia dewasa juga memiliki kelebihan yang belum dimiliki saat usia anak, yakni kreativitas, kemandirian, dan juga pemikiran. Dengan syarat, ia sudi meluangkan waktu, hati dan pikirannya untuk ilmu. Karena itulah, ketika ulama tabiin, murid dari Umar bin Khaththab yang bernama Ahnaf bin Qais mendengar seseorang berkata,
التَّعْلِيمُ فِي الصِّغَرِ كَالنَّقْشِ عَلَى الْحَجَرِ .
“Belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu,”
serta merta beliau menyahut,
الْكَبِيرُ أَكْثَرُ عَقْلًا وَلَكِنَّهُ أَشْغَلُ قَلْبًا
“Orang dewasa lebih banyak akalnya, akan tetapi lebih banyak kesibukan hatinya.”
Andai saja orang dewasa mengembangkan potensi akalnya, menyediakan wadah di hatinya untuk diisi dengan ilmu syar’i, niscaya percepatannya melebihi anak-anak dalam belajar. Iapun bisa mendapatkan kembali, apa yang telah hilang di waktu kecilnya, pun dia bisa mendapatkan apa yang semestinya didapatkan di usia dewasa.
Lagi pula, selagi nyawa masih bersama raga, selagi kita masih menyandang gelar muslim, belajar menjadi kewajiban kita,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Mencari ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR Ibnu Majah)
Banyak Contoh Mengukir Sejarah
Jika Anda menginginkan bukti, bahwa memulai belajar di usia dewasa benar-benar menjanjikan kesuksesan, lihatlah lembaran sejarah para pendahulu kita.
Ada Umar bin Khaththab yang menjalani masa kebodohan hingga usia 27 tahun; ia pernah menyembah berhala yang terbuat dari roti, yang ketika lapar ia memakannya. Ada pula riwayat yang menyebutkan, bahwa ia pernah mengubur puterinya hidup-hidup, bahkan puterinya turut membersihkan baju dan jenggot ayahnya saat menggali lubang untuknya. Tapi begitu masuk Islam, sirnalah kebodohannya, meskipun ia baru memulai belajar saat usia telah dewasa. Bahkan sepeninggal Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu, beliau dipercaya memimpin kaum muslimin sedunia.
Di kalangan tabi’in, kita mendapatkan Malik bin Dinar Rahimahullah. Hingga ia memiliki seorang puteri, hidupnya hanya dipergunakan untuk hura-hura dan hobi menenggak khamr. Ketika puterinya wafat, Allah membukakan baginya pintu taubat. Ia pun mulai belajar Islam dari nol. Tapi, subhanallah! Dalam waktu yang tidak berapa lama, ia mampu mengungguli mereka yang bergelimang dengan ilmu sejak kecil. Sehingga beliau menjadi tokoh ulama terpandang yang tidak jauh levelnya dari Hasan al-Bashri, maupun Muhammad bin Sirin Rahimahumullah.
Siapa pula yang tidak kenal Fudhail bin Iyadh. Nama dan pendapatnya memadati kitab-kitab karya para ulama. Beliau juga menghabiskan masa mudanya tanpa belajar, bahkan menjadi perampok kelas kakap. Hingga akhirnya beliau bertaubat dan mulai belajar dan beramal. Pada gilirannya, beliau menjadi ulama yang terpercaya dan menjadi rujukan di zamannya, maupun zaman sesudahnya.
Maka, jika Anda ‘terlanjur’ dewasa, jangan putus asa, masih banyak peluang untuk meninggikan cita-cita, lalu meraihnya. Wallahu a’lam.

Rabu, 02 Januari 2013

Tata cara hidup betawakal


Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS al-Maidah (5): 23). Di tengah bahtera kehidupan yang terus bergelombang dan tidak pernah surut dari berbagai problematikanya, kita perlu memiliki sebuah pegangan dan ‘navigasi’ yang mengantarkan kita pada pulau tujuan.

Sebagai insan Muslim hendaknya memiliki komitmen dan prinsip hidup. Apa pun lapangan usaha yang ditekuni, bidang keilmuan yang dikaji, maupun aspek kehidupan yang dijalani, setiap Muslim tetap berusaha dan berupaya. Kekuatan yang terpendam dalam setiap diri seorang Muslim ialah potensi besar yang dimiliki dan harus digali. 

Memaksimalkan kemampuan diri mengarah pada upaya memaksimalkan ikhtiar kita. Inilah yang Allah sebutkan dalam QS ar-Ra’d ayat 11. Tawakal adalah sikap berserah diri kepada Allah Ta’ala setelah melakukan usaha secara maksimal. Itu bermakna dalam hidup kita tidak ada suatu tindakan atau perbuatan yang tidak memiliki dasar yang jelas. Semua hal dilakukan karena adanya unsur perintah dan meninggalkan segala hal karena memang jelas adanya unsur larangan.

Memaknai tawakal diperlukan pemahaman bahwa terdapat ikatan yang kuat antara manusia sebagai makhluk dan Allah sebagai Sang Pencipta. Ikatan yang berimplikasi pada adanya hubungan ini mestinya dijalin dengan baik oleh manusia. Dengan demikian, pada klimaks usaha yang dilakukan seseorang tetap saja kembali ke muara segala sesuatu, yaitu Allah. Pasrah secara total kepada-Nya. 

Kita bersikap menerima dengan ikhlas atas segala yang diberikan Allah Ta’ala dari usaha yang dilakukan. Ini adalah kenyataan yang berat dalam hidup kita. Sebab, yang sering terjadi pada kita adalah selalu menanggapi hal-hal yang tidak mengenakkan dalam hidup kita dengan mengeluh. Kita betul-betul merasa berat ketika mendapat ujian dan cobaan yang, menurut kita, tidak mengenakkan karena cenderung merepotkan atau menyusahkan. 

Kita perlu menyadari bahwa manusia tidak memiliki kewenangan untuk menentukan apa yang dikehendakinya. Yang diperbolehkan hanyalah rencana-rencana manusiawi. Meski demikian, sesegera mungkin kembali menyadari bahwa segala yang terjadi merupakan kewenangan Allah Ta’ala. Alquran menyebutkan dengan tegas dan jelas, “Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (QS al-Ahzab (33):38).

Tawakal perlu dipupuk, diutamakan, dan diperjuangkan. Karena sedemikian pentingnya tawakal dalam hidup, hingga kita perlu mengetahui bagaimana cara bertawakal, yaitu merasa cukup terhadap apa yang didapat dan dimiliki, tetap meningkatkan usaha agar lebih baik, membiasakan bersyukur kepada Allah atas pemberian-Nya, mengawali pekerjaan dengan niat ibadah, menyadari bahwa manusia memiliki banyak kekurangan, dan menyerahkan sepenuhnya kepada keputusan Allah setelah melakukan ikhtiar/usaha.
Obat yang paling mujarab untuk mengatasi berbagai masalah hidup adalah membiasakan diri bertawakal kepada Allah Ta’ala. Dalam kehidupan kita, tawakal berfungsi mengurangi tekanan batin/jiwa, terhindar dari kecewa dan stres berat, juga meringankan langkah dalam menjalani hidup sehari-hari. Kita adalah manusia. Kewajiban kita adalah berusaha. Masalah keputusan—berhasil atau gagal—tetap di tangan Allah Ta’ala. Dia Yang Mahakuasa akan memutuskan sebatas yang dikehendaki sesuai dengan usaha yang dilakukan manusia